Laman

Sabtu, 07 Mei 2011

rujukan persiapan klinis

MASA NIFAS PENDAHULUAN Puerperium (masa nifas) atau periode pasca persalinan umumnya berlangsung selama 6 – 12 minggu. Puerperium adalah periode pemulihan dari perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan. Puerperium dapat dibagi menjadi : * Periode pasca persalinan : 24 jam pasca persalinan. * Periode puerperium dini : minggu pertama pasca persalinan. * Periode puerperium lanjut : sampai 6 minggu pasca persalinan. PERUBAHAN FISIOLOGI dan ANATOMI Perubahan endokrin yang terjadi selama kehamilan akan terjadi secara cepat Hpl- human Placental Lactogen serum tidak terdeteksi dalam waktu 2 hari dan hCG- Human Chorionic Gonadotropin tidak terdeteksi dalam waktu 10 hari pasca persalinan. Kadar estrogen dan progesteron serum menurun sejak 3 hari pasca persalinan dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari ke 7. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI ; bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan menyebabkan pertumbuhan folikel. Pada pasien yang memberikan ASI, kadar human Prolactin-hPr akan meningkat. Sistem kardiovaskular akan kembali pada nilai sebelum kehamilan dalam waktu 2 minggu pasca persalinan. Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic state” akibat adanya pergeseran cairan ekstravaskular kedalam ruang intravaskular. Volume darah dan plasma normal kembali pada minggu kedua. Sampai pada 10 hari pertama pasca persalinan, peningkatan faktor pembekuan dalam kehamilan akan menetap dan diimbangi dengan kenaikan aktivitas fibrinolisis. PERUBAHAN MORFOLOGIS PADA TRAKTUS GENITALIA Dinding vagina edematous, kebiruan serta kendor dan tonus kembali kearah normal setelah 1 – 2 minggu. Pada akhir kala III, besar uterus setara dengan ukuran kehamilan 20 minggu dengan berat 1000 gram. Pada akhir minggu pertama berat uterus mencapai 500 gram. Pada hari ke 12, uterus sudah tidak dapat diraba melalui palpasi abdomen. image Perubahan involusi tinggi fundus uteri dan ukuran uterus selama 10 hari pasca persalinan “placental site” mengecil dan dalam waktu 10 hari diameternya kira-kira 2.5 cm. Lochia yang terjadi sampai 3 – 4 hari pasca persalinan terdiri dari darah, sisa trofoblas dan desidua coklat kemerahan yang disebut lochia rubra. Selanjutnya berubah menjadi lochia serosa yang seromukopurulen dan berbau khas. Selama minggu II dan III, lochia menjadi kental dan putih kekuningan yang disebut lochia alba terdiri dari leukosit dan sel desidua yang mengalami degenerasi. Setelah minggu 5 – 6, sekresi lochia menghilang yang menunjukkan bahwa proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna. PRINSIP PENATALAKSANAAN PUERPERIUM Pasca persalinan, bila pasien menghendaki maka diperkenankan untuk berjalan-jalan, pergi ke kamar mandi bila perlu dan istirahat kembali bila merasa lelah. Sebagian besar pasien menghendaki untuk beristirahat total ditempat tidur selama 24 jam terutama bila dia juga mengalami cedera perineum yang luas. Fungsi perawatan medis adalah: 1. Memberikan fasilitas agar proses penyembuhan fisik dan psikis berlangsung dengan normal. 2. Mengamati jalannya proses involus uterus. 3. Membantu ibu untuk dapat memberikan ASI. 4. Membantu dan memberi petunjuk kepada ibu dalam merawat neonatus. Tak ada waktu yang baku mengenai lama perawatan pasca persalinan, diperkirakan bahwa semakin lama tinggal di rumah sakit, proses laktasi menjadi semakin baik. PERAWATAN PUERPERIUM DI RUMAH SAKIT Ambulasi dini membuat perawatan nifas menjadi lebih sederhana. Pemeriksaan meliputi : * Pemeriksaan tekanan darah, nadi dan pernafasan secara teratur. * Inspeksi perineum setiap hari untuk melihat proses penyembuhan. * Pada pasien dengan cedera perineum luas perlu diberikan analgesik. * Penilaian jumlah dan sifat lochia. * Penilaian proses involusi dengan menentukan tinggi fundus uteri. * Analgesik mungkin juga diperlukan bila ada keluhan nyeri akibat kontraksi uterus terutama saat laktasi. MASALAH TRAKTUS URINARIUS 24 jam pasca persalinan, pasien umumnya menderita keluhan miksi akibat depresi pada reflek aktivitas detrussor yang disebabkan oleh tekanan dasar vesika urinaria saat persalinan. Keluhan ini bertambah hebat oleh karena adanya fase diuresis pasca persalinan, bila perlu retensio urine dapat diatasi dengan melakukan kateterisasi. Rortveit dkk (2003) menyatakan bahwa resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan Sectio Caesar. 10% pasien pasca persalinan menderita inkontinensia (biasanya stress inkontinensia) yang kadang-kadang menetap sampai beberapa minggu pasca persalinan. Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan pada otot dasar panggul. Retensio Urine * Sensasi dan kemampuan pengosongan kandung kemih terganggu akibat anaestesi atau analgesi. * Ching-chung dkk (2002) : angka kejadian retensio urine pasca persalinan 4% * Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dauer catheter selama 24 jam * Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka nampaknya ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4jam kemudian , bila volume urine < 200 ml – kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa Retensio urine kemungkinan oleh karena hematoma atau edema daerah sekitar urtehra sehingga terapi meliputi : antibiotika dan obat anti inflamasi, MASALAH PENCERNAAN Sejumlah pasien pasca persalinan mengeluh konstipasi yang biasanya tidak memerlukan intervensi medis. Bila perlu dapat diberi obat pencahar supositoria ringan (dulcolax). Haemorrhoid yang diderita selama kehamilan akan menyebabkan rasa sakit pasca persalinan dan keadaan ini memerlukan intervensi medis. NYERI PUNGGUNG Nyeri punggung sering dirasakan pada trimester ketiga dan menetap setelah persalinan dan pada masa nifas. Kejadian ini terjadi pada 25% wanita dalam masa puerperium namun keluhan ini dirasakan oleh 50% dari mereka sejak sebelum kehamilan. Keluhan ini menjadi semakin hebat bila mereka harus merawat anaknya sendiri. KONTRASEPSI dan STERILISASI Masa puerperium dini adalah saat terbaik untuk membahas mengenai kontrasepsi. Masa infertilitas anovulatoar hanya berlangsung selama 5 minggu pada pasien yang tidak memberikan ASI dan 8 minggu pada yang memberikan ASI secara penuh. Tubektomi dikerjakan saat SC atau maksimum 24 – 48 jam pasca persalinan normal. Beberapa pasangan menghendaki agar tubektomi dilakukan 6 – 8 minggu pasca persalinan untuk memberikan kesempatan bagi kesehatan anak dan memahami sepenuhnya arti sterilisasi permanen bagi keluarganya. Kontrasepsi alamiah dimulai segera setelah pasien mendapatkan haid. Perlindungan kontrasepsi alamiah pada pemberi ASI sekitar 98% sampai selama 6 bulan. Pada pasien non laktasi, pemberian kontrasepsi oral kombinasi ( sediaan kombinasi estrogen < 35 µg dan progestin ) diberikan paling cepat 2 – 3 minggu pasca persalinan, jangan melakukan pemberian yang terlalu dini oleh karena pasien masih dalam “hypercoagulable state” Pada pasien laktasi dapat diberikan kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin (norethindrone 0.35 mg) atau injeksi Depo-Provera® 150 mg setiap 3 bulan agar tidak terjadi penekanan proses laktasi. Implan Levonorgestrel dapat diberikan setelah laktasi berlangsung dengan lancar (segera atau 6 minggu pasca persalinan), keberatan penggunaan metode ini adalah: perdarahan iregular, mahal dan kesulitan dalam pemasangan atau pengeluaran. IUD ( copper containing T Cu Ag® , Paraguard t 380A® , Progesterone-releasing Progestasert ®, levonorgestrel-releasing Mirena ® ) sangat efektif dalam pencegahan kehamilan dan sebaiknya dipasang pada kunjungan post partum pertama atau segera setelah persalinan (kejadian ekspulsi sangat tinggi) Jenis kontrasepsi bagi ibu pada masa laktasi 1. Kontrasepsi oral jenis ‘Progestine–only’ 2 - 3 minggu pasca persalinan 2. Depo Provera® 6 minggu pasca persalinan 3. Implan hormon 6 minggu pasca persalinan 4. Kontrasepsi oral kombinasi diberikan 6 minggu pasca persalinan dan hanya bila ASI sudah berlangsung dengan baik dan status gizi anak harus diawasi dengan baik PEMERIKSAAN PASCA PERSALINAN Kunjungan pasca persalinan pertama (4 – 6 minggu) 1. Anamnesa mengenai perdarahan pervaginam. 2. Tekanan darah dan berat badan. 3. Darah lengkap. 4. Pemeriksaan payudara: 1. Pemakaian BH yang sesuai atau memadai. 2. Kelainan puting dan masalah laktasi. 5. Pemeriksaan vagina, kondisi hipoestrogen yang menyebabkan kekeringan epitel vagina diatasi dengan pemberian krim estrogen menjelang tidur malam. 6. Inspeksi servik [ bila perlu dilakukan hapusan papaniculoau]. 7. Pemeriksaan luka perineum. 8. Pemeriksaan bimanual pada uterus dan adneksa. 9. Konsultasi mengenai: pekerjaan profesional rutin, metode kontrasepsi, dan perencanaan kesejahteraan dalam keluarga. LAKTASI dan PEMBERIAN ASI Selama kehamilan terjadi perkembangan pada payudara. Estrogen menyebabkan bertambahnya ukuran dan jumlah duktus. Progesteron menyebabkan peningkatan jumlah alveolus. hPL merangsang perkembangan alveolar dan diperkirakan terlibat dalam sintesa casein, lactalbumin dan lactoglobulin dalam sel alveolus. Proses laktasi selama kehamilan tidak terjadi meskipun hPr meningkat selama kehamilan oleh karena kadar estrogen yang tinggi menyebabkan adanya penguasaan terhadap “binding site” pada alveolus sehingga aktivitas laktogenik dari hPr terhalang. Pada akhir kehamilan, terjadi sekresi cairan jernih kekuningan yang disebut kolustrum yang mengandung imunoglobulin, produksi kolustrum terus meningkat pasca persalinan dan digantikan dengan produksi ASI. Kadar estrogen menurun dengan cepat 48 jam pasca persalinan sehingga memungkinkan berlangsungnya aktivitas hPr terhadap sel alveolus untuk inisiasi dan mempertahankan proses laktasi. Proses laktasi semakin meningkat dengan isapan pada payudara secara dini dan sering oleh karena secara reflektoar, isapan tersebut akan semakin meningkatkan kadar hPr Emosi negatif [kecemasan ibu bila ASI tak dapat keluar] menyebabkan penurunan sekresi prolaktin melalui proses pelepasan prolactine-inhibiting factor (dopamin) dari hipotalamus. Pada hari ke 2 dan ke 3 pasca persalinan, hPr merangsang alveolus untuk menghasilkan ASI. Pada awalnya, ASI menyebabkan distensi alveolus dan ductus kecil sehingga payudara menjadi tegang. image Reflek Prolaktin REFLEK EJEKSI ASI image Sel mioepitelial sekitar villi yang sebagian berisi ASI Keluarnya ASI terjadi akibat kontraksi sel mioepitelial dari alveolus dan ductuli (gambar atas) yang berlangsung akibat adanya reflek ejeksi ASI ( let-down reflex ). image Reflek ejeksi ASI Reflek ejeksi ASI diawali hisapan oleh bayi → hipotalamus → hipofisis mengeluarkan oksitosin kedalam sirkulasi darah ibu ( gambar atas) Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi sel mioepitelial dan ASI disalurkan kedalam alveoli dan ductuli → ductus yang lebih besar → penampungan subareolar. Oksitosin mencegah keluarnya dopamin dari hipotalamus sehingga produksi ASI dapat berlanjut. Emosi negatif dan faktor fisik dapat mengurangi reflek ejeksi ASI, tugas perawatan pasca persalinan antara lain meliputi usaha untuk meningkatkan keyakinan seorang ibu bahwa dia mampu untuk memberikan ASI kepada bayinya. Pernyataan bersama antara WHO dan UNICEF yang dipublikaskan tahun 1989 dibawah memperlihatkan dukungan apa yang diperlukan bagi keberhasilan laktasi. TEN STEPS TO SUCCESFUL BREASTFEEDING image KEBUTUHAN NUTRISI SELAMA LAKTASI Energi laktasi perhari ± 2095 kJ, kebutuhan energi umumnya dapat terpenuhi dari cadangan lemak ibu. Bila terdapat kcemasan pada ibu mengenai hal tersebut, dapat disarankan baginya untuk menambahkan asupan nutrisi secukupnya. MEMPERTAHANKAN PROSES LAKTASI Cara paling efektif dalam mempertahankan proses laktasi adalah isapan bayi yang reguler sehingga reflek prolaktin dan reflek ejeksi ASI dapat terus terjadi dan distensi alveolus dapat dicegah. Distensi alveolus menyebabkan sekresi ASI alveolus menjadi tidak efisien dan rasa sakit pada payudara menyebabkan ibu enggan untuk menyusui bayinya. Dengan demikian pencegahan reflek yang menghambat pengeluaran dopamin dari hipotalamus menghilang dan aktivitas alveolar menjadi berkurang pula. KEBERHASILAN PEMBERIAN ASI Keberhasilan proses laktasi memerlukan beberapa hal : 1. Terjadi sekresi ASI dalam alveolus. 2. Reflek ejesi ASI efisien. 3. Ibu memiliki motivasi untuk memberikan ASI. Seperti terlihat dalam “ Ten Steps to Succesful Breastfeeding” “ maka keberhasilan laktasi akan terjadi bila : 1. Bayi diberikan pada ibu untuk menyusui sedini mungkin dan Rooming-in. 2. Bayi diperkenankan untuk menyusui sesering mungkin. 3. Setelah ASI keluar, bayi mengisap ASI dengan frekuensi sesuai kebutuhannya termasuk di malam hari sekalipun. 4. Bayi tidak diberi air atau glukosa tanpa persetujuan dokter atau orang tuanya 5. Staf perawatan wajib membantu ibu untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses laktasi. TEHNIK MENYUSUI Ibu perlu memperoleh petunjuk bagaimana mempertemukan mulut bayi dengan puting susu agar bayi membuka mulut dan mencari lokasi puting susu. image Posisi ideal puting susu dalam mulut bayi (a) dan (b) puting susu dikulum bayi dan (c) puting berada tempat yang benar dalam mulut bayi Ibu kemudian menahan payudara dengan puting susu diantara jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga puting menonjol dan bayi dapat menempatkan gusinya pada areola mammae dan bukan pada puting susu (gambar atas) . Cara ini memungkinkan bayi bernafas saat menyusu. (2 buah gambar di bawah) image Tehnik memberikan ASi image Melepaskan puting dari hisapan bayi Pada gambar diatas terlihat bagaimana cara ibu melepaskan puting dari mulut bayi tanpa menimbulkan rasa sakit. Cara melepaskan dari isapan tersebut adalah dengan meletakkan jari kelingking kesudut mulut bayi untuk menghentikan isapan sebelum melepaskan mulut bayi dari puting susu. Sebagian kecil bayi membutuhkan tambahan cairan selain ASI pada 4 hari pertama, bila bayi terlihat mengalami dehidrasi, dapat diberikan air dengan sendok setelah pemberian ASI. Pemberian dengan botol susu harus dihindarkan karena proses pembelajaran bayi untuk menyusu akan terhenti. OBAT YANG TIDAK BOLEH DIBERIKAN PADA IBU LAKTASI Tabel 1 Obat yang menimbulkan efek bermakna pada masa laktasi Jenis Obat Efek samping Acebutolol Hipotensi, bradikardia, takipnea 5-Amonosalicylic acid Diarrhoea Aspirin (salicylate) Acidosis Metabolic Atenolol Sianosis, bradikardia Bromocripitine Supresi laktasi. Clemastine Drowsiness, iritabel, menolak pemberian ASI ,menjerit, kaku kuduk Ergotamine Muntah, diarrhoea, kejang Lithium A third to half therapeutic blood concentration in infatnts Phenindione Anticoagulant-increased prothromnine and partial thromboplastine time in one infant – not used in United States Phenobarbital Sedation: infantile spasmes after ewaning from milk containing phenobarbital; methemoglobinemia (one case) Primidone Sedasi, masalah nutrisi Sulfasalazine Diarea berdarah Dari : American Academy of Pediatrics and The American College of Obstetrics and Gynecologists, 2002 MENCEGAH dan MENEKAN LAKTASI Cara sederhana untuk menghentikan laktasi adalah dengan menghentikan laktasi dan menghindari rangsangan pada puting susu. Meskipun terasa sakit, penumpukan air susu dalam sistem saluran akan dapat menekan produksi ASI dan terjadi reabsorbsi pada ASI. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan analgesik. Penekanan produksi ASI secara medis dengan estrogen atau bromokriptin tidak dianjurkan. MASALAH PSIKOLOGI PADA MASA NIFAS Keberadaan bayi tidak jarang justru menimbulkan “stress” bagi beberapa ibu yang baru melahirkan. Ibu merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi, melanjutkan mengurus suami, setiap malam merasa terganggu dan sering merasakan adanya ketidak mampuan dalam mengatasi semua beban tersebut. Banyak wanita pasca persalinan menjadi sedih dan emosional secara temporer antara hari 3 – 5 (third day blues) dan kira-kira 10% diantaranya akan mengalami depresi hebat. “Third Day Blues” Etiologi tak jelas, diperkirakan karena gangguan keseimbangan hormonal, reaksi eksitasi akibat persalinan dan perasaan tak mampu untuk menjadi seorang ibu. “Third days blues” dapat berupa : * Lanjutan rasa cemas saat kehamilan dan proses persalinan * Rasa tak nyaman pada masa nifas dan tak mampu menjadi orangtua. * Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan berguna * Rasa lelah pasca persalinan dan kurang tidur /istirahat * Penurunan gairah seksual atau tidak lagi menarik seperti waktu masih gadis * Labilitas emosional. * Depresi berat sampai beberapa minggu-bulan. Penatalaksanaan : terapi medis, diskusi dengan paramedis, penjelaskan mengenai apa yang terjadi dan bila pasien menghendaki maka kunjungan keluarga dibatasi. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa rooming-in dapat mengurangi kejadian “third days blues” Seksualitas Pasca Persalinan * Setelah persalinan, waktu serta perhatian ibu banyak tersita untuk mengurus bayinya. * Bila terdapat cedera perineum akibat persalinan, maka vagina dan perineum akan mengalami ketegangan selama beberapa minggu. * Gairah seksual seringkali mengalami penurunan. * Pada beberapa ibu yang memberikan ASI dapat terjadi penurunan libido dan menderita kekeringan pada vagina. * Hubungan seksual bukan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kenikmatan seksual dan wanita tersebut masih dapat menerima rangsangan seksual dalam bentuk sentuhan atau rangsangan lain yang tak jarang berlanjut dengan hubungan seksual intercourse dan dapat menyebabkan terjadinya orgasmus pada wanita. * Konsultasi dan advis dari dokter kadang diperlukan bila terdapat penurunan gairah seksual pasca persalinan yang terlalu berat. Rujukan: 1. American College of Obstetricians and Gynecologist : Exercise during pregnancy and postpartum periode ACOG Committess Opinion No 267, Januari 2002 2. American College of Obstetricians and Gynecologist : Breast Feeding: Maternal and infant aspects Educational Bulletin no 258, Juli 2000 3. Barbosa-Csenick C et al: Lactation mastitis Jama 289:1609, 2003 4. Chiarelli P, Cockburn J : Promoting urinary incontincnence in womwn after delivery. BMJ 324:1241,2002 5. Cunningham FG et al : The Puerperium in Williams Obstetrics 22nd ed McGraw Hill, 2005 6. DeCherney AH. Nathan L : The Normal Puerperium Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003 7. Hooldcroft A, Snidvongs S, Cason A, et al : Pain and Uterine vontractions during breast feeding in the immediate postpartum periode increased with parity. Pain 104:589, 2003 8. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999 9. Rotveirt G , Daltveit AK, Hannestead YS, Hunskaars S : Urinary incontinence after vaginal delivery or caesrarean section N Engl J Med 348, 10,2003 10. Wijma J, Potters AE, Wolf BT, et al: Anatomical and functional changes in the lower urinary tract following spontaneous vaginal delivery. Br J Obstet Gynaecol 110”658, 2003 dr.Bambang Widjanarko,SpOG Diposkan oleh Bambang Widjanarko di 18:04 0 komentar Link ke posting ini Label: Rujukan Persiapan Klinik Selasa, 28 Juli 2009 FISIOLOGI JANIN dr.Bambang Widjanarko, SpOG Usia konsepsi dalam minggu lazim digunakan untuk menyatakan status perkembangan embrio. Usia konsepsi dapat ditentukan dengan mengukur janin dan umumnya ditentukan berdasarkan pengukuran crown-rump length melalui pemeriksaan ultrasonografi. PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN Selama 8 minggu pertama, terminologi embrio digunakan terhadap perkembangan organisme oleh karena pada masa ini semua organ besar sedang dibentuk Setelah 8 minggu, terminologi janin digunakan oleh karena sebagian besar organ sudah dibentuk dan telah masuk kedalam tahap pertumbuhan dan perkembangan lanjut. Janin dengan berat 500 – 1000 gram (22-23 minggu) disebut imature. Dari minggu 28 – 36 disebut preterm dan janin aterm adalah bila usia kehamilan lebih dari 37 minggu. Kehamilan 8 minggu * Panjang 2.1 – 2.5 cm * Berat 1 gram * Bagian kepala lebih dari setengah tubuh janin * Dapat dikenali lobus hepar * Ginjal mulai terbentuk * Sel darah merah terdapat pada yolc sac dan hepar Kehamilan 12 minggu * Panjang 7 – 9 cm * Berat 12 – 15 gram * Jari-jari memiliki kuku * Genitalia eksterna sudah dapat dibedakan antara laki dan perempuan * Volume cairan amnion 30 ml * Peristaltik usus sudah terjadi dan memilki kemampuan menyerap glukosa Kehamilan 16 minggu * Panjang 14 – 17 cm * Berat 100 gram * Terdapat HbF * Pembentukan HbA mulai terjadi Kehamilan 20 minggu * Berat 300 gram * Detik jantung dapat terdengar dengan menggunakan stetoskop DeLee * Terasa gerakan janin * Tinggi fundus uteri sekitar umbilikus Kehamilan 24 minggu * Berat 600 gram * Timbunan lemak mulai terjadi * Viabilitas mungkin dapat tercapai meski amat jarang terjadi Kehamilan 28 minggu * Berat 1050 gram ; panjang 37 cm * Gerakan pernafasan mulai terlihat ; surfactan paru masih sangat rendah Kehamilan 32 minggu * Berat 1700 gram dan panjang 42 cm * Persalinan pada periode ini 5 dan 6 neonatus dapat bertahan hidup Kehamilan 36 minggu * Berat 2500 gram dan panjang 47 cm * Gambaran kulit keriput lenyap * Kemungkinan hidup besar Kehamilan 40 minggu * Berat 3200 – 3500 gram ; panjang 50cm * Diameter biparietal 9.5 cm NUTRISI INTRAUTERIN Pertumbuhan janin ditentukan sejumlah faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang penting adalah perfusi plasenta dan fungsi plasenta. Faktor gizi ibu bukan faktor terpenting, kecuali pada keadaan starvasi hebat. Gangguan gizi menahun dapat menyebabkan terjadinya anemia dan BBLR – berat badan lahir rendah Energi yang diperoleh janin dipergunakan untuk pertumbuhan dan terutama berasal dari glukosa. Kelebihan pasokan karbohidrat di konversi menjadi lemak dan konversi ini terus meningkat sampai aterm. Sejak kehamilan 30 minggu, hepar menjadi lebih efisien dan mampu melakukan konversi glukosa menjadi glikogen yang ditimbun di otot jantung otot gerak dan plasenta. Bila terjadi hipoksia, janin memperoleh energi melalui glikolisis anerobik yang berasal dari dari cadangan dalam otot jantung dan plasenta. Cadangan lemak janin dengan berat 800 gram (kehamilan 24 – 26 minggu) kira 1% dari BB ; pada kehamilan 35 minggu cadangan tersebut sekitar 15% dari BB. Plasenta memiliki kemampuan untuk “clears” bilirubin dan produk metabolit lain melalui aktivitas dari enzym transferase. Janin menghasilkan protein spesifik yang disebut sebagai alfafetoprotein - AFP dari hepar. Puncak kadar AFP tercapai pada kehamilan 12 – 16 minggu dan setelah itu terus menurun sampai aterm. Protein tersebut disekresi melalui ginjal janin dan ditelan kembali untuk mengalami degradasi dalam usus. Bila janin mengalami gangguan menelan (misalnya pada janin anensepalus atau kelainan NTD’s lain) maka kadar serum AFP tersebut meningkat. CAIRAN AMNION Volume cairan amnion saat aterm kira-kira 800 ml dan pH 7.2 Gambar dibawah menunjukkan jalur pertukaran dalam cairan amnion: clip_image002 Gambar 1. Pertukaran bahan terlarut dan air dalam cairan amnion Polihidramnion (hidramnion) : volume air ketuban > 2000 ml, dapat terjadi pada kehamilan normal akan tetapi 50% keadaan ini disertai dengan kelainan pada ibu atau janin. Oligohidramnion secara objektif ditentukan dengan pengukuran kantung terbesar dengan ultrasonografi yang menunjukkan angka kurang dari 2 cm x 2 cm atau jumlah dari 4 kuadran total kurang dari 5 cm ( amniotic fluid index ). Oligohidramnion sering berkaitan dengan : * Janin kecil * Agenesis renal * Displasia traktus urinarius ‘Amniotic fluid marker’ Alfafetoprotein berasal dari janin, kadar AFP dalam cairan amnion dan serum maternal mempunyai nilai prediktif yang tinggi dalam diagnosa prenatal NTD’s dan kelainan kongenital lain. Kadar MS-AFP yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan kadar protein cairan amnion dan kemungkinan adanya NTD’s SISTEM KARDIOVASKULAR Perubahan mendadak dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin memerlukan penyesuaian sirkulasi neonatus berupa : * pengalihan aliran darah dari paru, * penutupan ductus arteriosus Bottali dan foramen ovale serta * obliterasi ductus venosus Arantii dan vasa umbilikalis. Sirkulasi bayi terdiri dari 3 fase : 1. Fase intrauterin dimana janin sangat tergantung pada plasenta 2. Fase transisi yang dimulai segera setelah lahir dan tangisan pertama 3. Fase dewasa yang umumnya berlangsung secara lengkap pada bulan pertama kehidupan Fase intrauterin Vena umbilikalis membawa darah yang teroksigenasi dari plasenta menuju janin (gambar 2 dan 3 ) Lebih dari 50% cardiac out-put berjalan menuju plasenta melewati arteri umbilikalis. Cardiac out-put terus meningkat sampai aterm dengan nilai 200 ml/menit. Frekuensi detak jantung untuk mempertahankan cardiac output tersebut 110 – 150 kali per menit. Tekanan darah fetus terus meningkat sampai aterm, pada kehamilan 35 minggu tekanan sistolik 75 mmHg dan tekanan diastolik 55 mmHg Sel darah merah, kadar hemoglobin dan “packed cell volume” terus meningkat selama kehamilan. Sebagian besar eritrosit mengandung HbF Pada kehamilan 15 minggu semua sel darah merah mengandung HbF. Ada kehamilan 36 minggu, terdapat 70% HbF dan 30% Hb A. HbF memiliki kemampuan mengikat oksogen lebih besar dibanding HbA. HbF lebih resisten terhadap hemolisis namun lebih rentan terhadap trauma. clip_image004 Gambar 2. Sirkulasi janin clip_image005 Gambar 3. Transfer O2 dan CO2 plasenta Fase transisi Saat persalinan, terjadi dua kejadian yang merubah hemodinamika janin 1. Ligasi talipusat yang menyebabkan kenaikan tekanan arterial 2. Kenaikan kadar CO2 dan penurunan PO2 yang menyebabkan awal pernafasan janin Setelah beberapa tarikan nafas, tekanan intrathoracal neonatus masih rendah (-40 sampai – 50 mmHg) ; setelah jalan nafas mengembang, tekanan meningkat kearah nilai dewasa yaitu -7 sampai -8 mmHg. Tahanan vaskular dalam paru yang semula tinggi terus menurun sampai 75 – 80%. Tekanan dalam arteri pulmonalis menurun sampai 50% saat tekanan atrium kiri meningkat dua kali lipat. Sirkulasi neonatus menjadi sempurna setelah penutupan ductus arteriousus dan foramen ovale berlangsung, namun proses penyesuaian terus berlangsung sampai 1 – 2 bulan kemudian. Fase Ekstrauterin Ductus arteriousus umumnya mengalami obliterasi pada awal periode post natal sebagai reflek adanya kenaikan oksigen dan prostaglandin. Bila ductus tetap terbuka, akan terdengar bising crescendo yang berkurang saat diastolik (“machinery murmur”) yang terdengar diatas celah intercosta ke II kiri. Obliterase foramen ovale biasanya berlangsung dalam 6 – 8 minggu. Foramen ovale tetap ada pada beberapa individu tanpa menimbulkan gejala. Obliterasi ductus venosus dari hepar ke vena cava menyisakan ligamentum venosum. Sisa penutupan vena umbilikalis menjadi ligamentum teres hepatis. Hemodinamika orang dewasa normal berbeda dengan janin dalam hal : 1. Darah vena dan arteri tidak bercampur dalam atrium 2. Vena cava hanya membawa darah yang terdeoksigenasi menuju atrium kanan, dan selanjutnya menuju ventrikel kanan dan kemudian memompakan darah kedalam arteri pulmonalis dan kapiler paru 3. Aorta hanya membawa darah yang teroksigenasi dari jantung kiri melalui vena pulmonalis untuk selanjutnya di distribusikan keseluruh tubuh janin. FUNGSI RESPIRASI Pada kehamilan 22 minggu, sistem kapiler terbentuk dan paru sudah memiliki kemampuan untuk melakukan pertukaran gas. Pada saat aterm, sudah terbentuk 3 – 4 generasi alvoulus. Epitel yang semula berbentuk kubis merubah menjadi pipih saat pernafasan pertama. Pada kehamilan 24 minggu, cairan yang mengisi alvolus dan saluran nafas lain. Saat ini, paru mengeluarkan surfactan lipoprotein yang memungkinkan berkembangnya paru janin setelah lahir dan membantu mempertahankan volume ruangan udara dalam paru. Sampai kehamilan 35 minggu jumlah surfactan masih belum mencukupi dan dapat menyebabkan terjadinya hyalin membrane disease. Janin melakukan gerakan nafas intrauterin yang menjadi semakin sering dengan bertambahnya usia kehamilan Pertukaran gas pada janin berlangsung di plasenta. Pertukaran gas sebanding dengan perbedaan tekanan partial masing-masing gas dan luas permukaan dan berbanding terbalik dengan ketebalan membran. Jadi plasenta dapat dilihat sebagai “paru” janin intrauterin. Tekanan parsial O2 (PO2) darah janin lebih rendah dibandingkan darah ibu, namun oleh karena darah janin mengandung banyak HbF maka saturasi oksigen janin yang ada sudah dapat mencukupi kebutuhan. PCO2 dan CO2 pada darah janin lebih tinggi dibandingkan darah ibu sehingga CO2 akan mengalami difusi dari janin ke ibu. Aktivitas pernafasan janin intrauterin menyebabkan adanya aspirasi cairan amnion kedalam bronchiolus, untuk dapat masuk jauh kedalam alveolus diperlukan tekanan yang lebih besar. Episode hipoksia berat pada kehamilan lanjut atau selama persalinan dapat menyebabkan “gasping” sehingga cairan amnion yang kadang bercampur dengan mekonium masuk keparu bagian dalam. FUNGSI GASTROINTESTINAL Sebelum dilahirkan, traktus gastrointestinal tidak pernah menjalankan fungsi yang sebenarnya. Sebagian cairan amnion yang ditelan berikut materi seluler yang terkandung didalamnya melalui aktivitas enzymatik dan bakteri dirubah menjadi mekonium. Mekonium tetap berada didalam usus kecuali bila terjadi hipoksia hebat yang menyebabkan kontraksi otot usus sehingga mekonium keluar dan bercampur dengan cairan ketuban. Dalam beberapa kadaan keberadaaan mekonium dalam cairan amnion merupakan bentuk kematangan traktus digestivus dan bukan merupakan indikasi adanya hipoksia akut. Pada janin, hepar berperan sebagai tempat penyimpanan glikogen dan zat besi Vitamin K dalam hepar pada neonatus sangat minimal oelh karena pembentukannya tergantung pada aktivitas bakteri. Defisiensi vitamin K dapat menyebabkan perdarahan neonatus pada beberapa hari pertama pasca persalinan. Proses glukoneogenesis dari asam amino dan timbunan glukosa yang memadai dalam hepar belum terjadi saat kehidupan neonatus. Lebih lanjut, aktivitas kadar hormon pengatur karbohidrat seperti cortisol, epinefrin dan glukagon juga masih belum efisien. Dengan demikian, hipoglikemia neonatal adalah merupakan keadaan yang sering terjadi bila janin berada pada suhu yang dingin atau malnutrisi. Proses glukoronidasi pada kehidupan awal neonatus sangat terbatas sehingga bilirubin tak dapat langsung dikonjugasi menjadi empedu. Setelah hemolisis fisiologis pada awal neonatus atau adanya hemolisis patologis pada isoimunisasi nenoatus dapat terjadi kern icterus. FUNGSI GINJAL Ginjal terbentuk dari mesonefros, glomerulus terbentuk sampai kehamilan minggu ke 36. Ginjal tidak terlampau diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan janin. Plasenta, paru dan ginjal maternal dalam keadaan normal akan mengatur keseimbangan air dan elektrolit pada janin. Pembentukan urine dimulai pada minggu 9 – 12. Pada kehamilan 32 minggu, produksi urine mencapai 12 ml/jam, saat aterm 28 ml/jam. Urine janin adalah komponen utama dari cairan amnion. SISTEM IMUNOLOGI Pada awal kehamilan kapasitas janin untuk menghasilkan antibodi terhadap antigen maternal atau invasi bakteri sangat buruk. Respon imunologi pada janin diperkirakan mulai terjadi sejak minggu ke 20 Respon janin dibantu dengan transfer antibodi maternal dalam bentuk perlindungan pasif yang menetap sampai beberapa saat pasca persalinan. Terdapat 3 jenis leukosit yang berada dalam darah: granulosit – monosit dan limfosit Granulosit : granulosit eosinofilik – basofilik dan neutrofilik Limfosit : T-cells [derivat dari thymus] dan B-cells [derivat dari “Bone Marrow”] Immunoglobulin (Ig) adalah serum globulin yang terdiri dari IgG – IgM – IgA - IgD dan IgE Pada neonatus, limpa janin mulai menghasilkan IgG dan IgM. Pembentukan IgG semakin meningkat 3 – 4 minggu pasca persalinan. Perbandingan antara IgG dan IgM penting untuk menentukan ada tidaknya infeksi intra uterin. Kadar serum IgG janin aterm sama dengan kadar maternal oleh karena dapat melewati plasenta. IgG merupakan 90% dari antibodi serum jain yang berasal dari ibu. IgM terutama berasal dari janin sehingga dapat digunakan untuk menentukan adanya infeksi intrauterin. ENDOKRIN Thyroid adalah kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada tubuh janin. Pancreas terbentuk pada minggu ke 12 dan insulin dihasilkan oleh sel B pankreas. Insulin maternal tidak dapat melewati plasenta sehingga janin harus membentuk insulin sendiri untuk kepentingan metabolisme glukosa. Semua hormon pertumbuhan yang disintesa kelenjar hipofise anterior terdapat pada janin, namun peranan sebenarnya dari hormon protein pada kehidupan janin belum diketahui dengan pasti. Kortek adrenal janin adalah organ endokrin aktif yang memproduksi hormon steroid dalam jumlah besar. Atrofi kelenjar adrenal seperti yang terjadi pada janin anensepali dapat menyebabkan kehamilan postmatur. Janin memproduksi TSH – thyroid stimulating hormon sejak minggu ke 14 yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 . Rujukan 1. DeCherney AH. Nathan L : Current Obstetrics and Gynecologic, Diagnosis and Treatment McGraw – Hill Companies , 2003. 2. Harris R, Andrews T: Prenatal screening for Down’s syndrome Arch Dis Child ;63-705, 1988. 3. Jafee RB: Fetoplacental endocrine and metabolic physiology. Clin Perinatol 10-669, 1983. 4. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999 5. Wald NJ, Cuckle HS, Nanchahal K: Amniotic fluid acetylcholinesterase measurement in the prenatal diagnosis of open neural tube defects. Second report of the Collaborative Acetylcholinesterase study. Prenat Diagn;9-813, 1989. Diposkan oleh Bambang Widjanarko di 15:31 0 komentar Link ke posting ini Label: Rujukan Persiapan Klinik Kamis, 18 Juni 2009 Partogram Pembuatan PARTOGRAM Partograf digunakan untuk mendukung sistem rujukan dan untuk efektivitas pelayanan obstetri. Panduan berikut akan dipusatkan pada segi praktis pembuatan dan penggunaan partograf sebagai alat pengendali persalinan. Kedalam partograf, dibuat grafik dilatasi servik yang dibuat atas dasar hasil pemeriksaan vaginal toucher. Melalui partograf tersebut akan dapat diketahui apakah proses persalinan berlangsung secara wajar atau tidak wajar sehingga perlu penatalaksanaan yang segera. Melalui partograf pula, persalinan lama (protracted labor) atau persalinan macet (obstructed labor) dapat diketahui lebih awal sehingga komplikasi persalinan lebih lanjut dapat dicegah. Didalam partograf terdapat pula catatan-catatan lain yang diperlukan penolong persalinan untuk mengenali adanya kelainan tertentu dalam proses persalinan seperti misalnya : * Kwalitas kontraksi uterus persalinan (his) * Pemberian oksitosin per infus * Tekanan darah, nadi dan suhu tubuh parturien * Catatan pemberian obat-obatan tertentu dan cairan lain * Hasil pemeriksaan laboratorium urine PENGAMATAN YANG DICATAT DALAM PARTOGRAF INFORMASI AWAL IBU o Identitas ibu (nama, umur, graviditas dan paritas) o Tanggal dan jam masuk rumah sakit o Catatan mengenai selaput ketuban saat masuk rumah sakit o Cairan ketuban : warna, jumlah, saat pecah INFORMASI JANIN o Frekuensi denyut jantung janin (DJJ) o Derajat molase kepala janin clip_image002 Gambar 1 Partograf – halaman depan clip_image004 Gambar 2 Partograf – halaman belakang KEMAJUAN PERSALINAN o Dilatasi servik o Desensus kepala janin: melalui palpasi “per lima an” abdomen o Penilaian kontraksi uterus (his) o Setiap 10 menit dengan mengarsir kotak yang tersedia sesuai dengan hasil penilaian kontraksi uterus. OBAT DAN CAIRAN MASUK Dibawah lajur kotak observasi kontraksi uterus tertera lajur kotak untuk mencatat pemberian oksitosin, obat dan cairan intra vena lain. o Oksitosin + Jika tetesan (drip) oksitosin sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30 menit jumlah unit oksitosin yang diberikan per volume cairan iv dan dalam satuan tetes per menit o Obat lain dan jenis cairan intravena yang diberikan. Catat semua pemberian obat tambahan dan atau cairan intravena dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktunya INFORMASI LANJUTAN IBU Bagian terakhir pada lembar depan partograf berkaitan dengan informasi lanjutan ibu 1. Tekanan darah, nadi dan suhu tubuh ibu * Angka disebelah kiri partograf berkaitan dengan frekuensi nadi dan tekanan darah ibu * Nilai dan catat frekuensi nadi ibu tiap 30 menit selama persalinan kala I fase aktif ( atau lebih sering bila terdapat kecurigaan adanya komplikasi) * Beri tanda . (titik) pada kolom waktu yang sesuai * Nilai dan catat tekanan darah ibu setiap 4 jam selama persalinan kala I fase aktif (atau lebih sering bila terdapat kecurigaan adanya komplikasi) * Beri tanda panah pada partograf pada kolom waktu yang sesuai * Nilai dan catat suhu tubuh ibu setiap 2 jam (atau lebih sering bila terdapat kecurigaan adanya komplikasi infeksi) didalam kotak yang sesuai. 2. Urine : volume, protein dan aseton * Ukur dan catat jumlah produksi urine ibu sekurang-kurangnya setiap 2 jam (setiap kali ibu berkemih) * Jika mungkin, lakukan pemeriksaan aseton dan protein urine setiap ibu berkemih. CATATAN KEMAJUAN PERSALINAN 1. Dilatasi servik o Persalinan kala I dibagi menjadi : fase laten dan fase aktif o Fase laten berlangsung dari dilatasi 0 - 3 cm o Fase aktif berlangsung dari pembukaan 3 - 10 cm (lengkap) o Pada partograf terdapat beberapa grafik, pada sisi kiri terdapat angka 0 – 10 yang menggambarkan besarnya dilatasi servik dalam sentimeter dan sepanjang sisi horisontal dibawahnya bawah terdapat angka 0 – 24 yang menunjukkan waktu dalam jam. o Dilatase servik dicatat dengan tanda [ x ] o Bilamana tak ada kontraindikasi, vaginal toucher pertama dikerjakan saat penderita masuk kamar bersalin bersamaan dengan evaluasi panggul (pada primigravida atau multipara dengan kapasitas panggul yang meragukan) o Penilaian lanjutan dengan VT dilakukan secepat-cepatnya dalam waktu 4 jam berikutnya, kecuali bila terdapat indikasi untuk melakukan VT sebelum waktu 4 jam tersebut terlampaui. o Pada persalinan lanjut khususnya pada multigravida, VT ulangan dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 4 jam. Contoh 1 : Bagaimana mencatat dilatasi bila ibu masuk kamar bersalin dalam fase aktif? Perhatikan gambar 3 pada bagian yang diberi tanda “fase aktif” terdapat “garis waspada” suatu garis lurus antara 3 – 10 cm. Bila ibu masuk kamar bersalin dalam fase aktif, hasil VT pertama dicatat dengan tanda “x” pada tititk singgung garis waspada dan garis waktu. Keterangan dari gambar 3 : * Pukul 15.00 pada saat ibu masuk kamar bersalin, hasil pemeriksaan VT menunjukkan bahwa dilatasi servik saat itu adalah 4 cm (fase aktif) sehingga hasil pemeriksaan VT tersebut dicatat pada garis waspada 4 cm. * Pada pukul 17.00, dilatasi servik menjadi 10 cm (lengkap) * Dengan demikian maka persalinan kala I berlangsung selama 2 jam. clip_image007 Gambar 3 Meletakkan tanda “x” untuk catatan mengenai dilatasi pada garis waspada Contoh 2 : Bagaimana mencatat dilatasi bila ibu masuk kamar bersalin pada fase laten dan masuk fase aktif 6 jam kemudian? Perhatikan gambar 4 Fase laten ditetapkan tidak lebih dari 8 jam. Waktu ibu MKB, dilatasi servik 1 cm dan dicatat pada jam ke 0 pada garis waktu. VT dilakukan setiap 4 jam. Pukul 13.00 : dilatasi servik 2 cm. Pada saat dilatasi menjadi 3 cm, persalinan dimasukan kedalam fase aktif Pukul 20.00 dilatasi lengkap. Fase laten berlangsung 8 jam dan fase aktif berlangsung 3 jam. Contoh 3 : Bagaimana mencatat dilatasi bila ibu masuk kamar bersalin pada fase laten dan kemudian masuk fase aktif dalam waktu kurang dari 6 jam? Perhatikan gambar 5 : Sewaktu dilatasi 0 – 3 cm, catatan dilatasi servik harus dicantumkan pada daerah fase laten. Ketika persalinan masuk kedalam fase aktif, catatan dilatasi harus DIPINDAHKAN melalui suatu garis putus-putus dengan tanda “pindah” ke garis waspada. Sebagaimana biasanya, VT dilakukan setiap 4 jam. Garis putus-putus BUKAN bagian dari proses persalinan. Keterangan gambar 5 : * Ibu MKB pukul 14.00 dengan dilatasi 2 cm. * Ibu mengalami 3 kali proses VT. * Pukul 18.00 , dilatasi servik 6 cm (masuk fase aktif) ; catatan “waktu” dan “dilatasi” segera dipindahkan ke garis waspada. * Pukul 22.00 dilatasi servik lengkap. Lama persalinan kala I 8 jam. clip_image010 Gambar 4 : Mencatat dilatasi bila ibu masuk kamar bersalin pada fase laten dan masuk fase aktif 6 jam kemudian clip_image012 Gambar 5 : Pencatatan didalam partograf, perpindahan dari fase laten menjadi fase aktif 1. Desensus Kepala Pada proses persalinan yang berlangsung normal, bertambahnya dilatasi servik akan disertai dengan desensus kepala janin. Namun, kadang-kadang desensus baru terjadi setelah pembukaan 7 cm. Desensus diperiksa melalui palpasi abdomen dengan ukuran perlimaan diatas pintu atas panggul (tepi atas simfisis). Penentuan DESENSUS melalui palpasi perlimaan ini lebih dipercaya dibandingkan penilaian berdasarkan VT terutama bila sudah terdapat caput succadenum. Diagram berikut dapat digunakan untuk melukiskan desensus kepala yang ditentukan berdasarkan palpasi abdomen : clip_image013 Gambar 6 : Desensus kepala janin ; O = oksiput ; S = Sinsiput * Desensus kepala janin harus selalu diperiksa melalui pemeriksaan palpasi abdomen sesaat sebelum melakukan vaginal toucher. * Dalam melakukan palpasi abdomen untuk menentukan derajat desensus, ukuran lebar jari tangan dapat digunakan untuk menentukan ukuran desensus kepala janin ke PAP. * Semakin “mobile” kepala janin diatas PAP, semakin banyak jari pemeriksa yang dapat mengakomodasi bagian kepala diatas PAP tersebut. * Pada umumnya disepakai bahwa kepala janin dinyatakan sudah “engage” bila bagian kepala janin diatas PAP setara dengan 2 jari pemeriksa atau kurang dari 2/5 ( gambar 7 ) clip_image015 Gambar 7 : Diagram penurunan kepala janin melalui pemeriksaan palpasi abdomen Pencatatan desensus kepala dalam partogram dapat dilihat pada gambar 8. Pada sisi kiri grafik partogram terdapat kata “penurunan kepala” dengan garis lurus dari skala 0 – 5. Desensus kepala diberi tanda “O” pada garis pembukaan. Keterangan gambar 8: * Pasien MKB pukul 13.00 dengan desensus 5/5 dan dilatasi servik 1 cm. * 4 jam kemudian (pukul 17.00) desensus bertambah menjadi 4/5 dan dilatasi servik menjadi 5 cm. Persalinan masuk kedalam kala I fase aktif. * Catatan mengenai dilatasi servik – desensus kepala – dan catatan waktu dipindahkan ke garis waspada. * 3 jam kemudian (pukul 20.00), desensus menjadi 1/5 dan dilatasi servik sudah lengkap. * Secara keseluruhan, persalinan kala I di kamar bersalin berlangsung selama 7 jam. clip_image017 Gambar 8 : Mencatat desensus kepala janin didalam partogram INGAT !! 1. Pemeriksaan desensus kepala janin dapat membantu menentukan kemajuan persalinan 2. Desensus kepala janin diperiksa melalui palpasi abdomen dalam ukuran perlimaan 3. Pemeriksaan palpasi abdomen untuk menentukan derajat desensus kepala janin dilakukan sesaat sebelum melakukan pemeriksaan vaginal toucher. 1. Penilaian kontraksi uterus (his) + Sebuah proses persalinan yang normal senantiasa disertai dengan his yang normal pula. + Pada proses persalinan yang normal, semakin lanjut tahapan persalinan his akan menjadi semakin bertambah sering dan semakin terasa sakit. Pengamatan his Pengamatan pada fase laten dikerjakan tiap 60 menit dan pada fase aktif tiap 30 menit. Ada 2 hal yang harus diamati : * Frekuensi : berapa kali jumlah his yang terjadi dalam waktu 10 menit * Durasi : masing-masing his yang terjadi, berlangsung berapa detik Cara mengamati his adalah dengan meletakkan tangan diatas abdomen dan merasakan adanya kontraksi uterus (his) 2. Pencatatan informasi his didalam partogram Dibawah garis waktu terdapat 5 kotak kosong melintang sepanjang partogram yang pada sisi kirinya tertulis “ His / 10 menit “. Satu kotak menggambarkan satu his Bila terdapat 2 kali his dalam 10 menit maka akan ada 2 buah kotak yang diarsir. Gambar 9 memperlihatkan aturan mengarsir kotak sesuai dengan lamanya (durasi) his berlangsung. Keterangan gambar 9 : * Setengah jam I : Dalam 10 menit terakhir terdapat 2 kali his ; durasi masing-masing his < 20 detik * Setengah jam III : Dalam 10 menit terakhir terdapat 3 kali his ; durasi masing-masing his < 20 detik * Setengah jam VI : Dalam 10 menit terakhir terdapat 4 kali his ; durasi masing-masing his antara 20 - 40 detik * Setengah jam VII : Dalam 10 menit terakhir terdapat 5 kali his ; durasi masing- masing his > 40 detik Aturan memberikan arsir pada kotak-kotak his sesuai dengan durasi his Keterangan gambar 10: * Pasien MKB pada pukul 14.00 dalam persalinan kala I fase aktif. * Dilatasi servik 3 cm dan desensus kepala janin 4/5 * His berlangsung 3 kali per 10 menit dengan durasi < 20 detik * Pukul 18.00 : dilatasi servik 7 cm, desensus 3/5 dan his 4 kali per 10 menit dengan durasi 20 – 40 detik * Pukul 21.00 : dilatasi servik lengkap, desensus kepala 0/5 dan his 5 kali per 10 menit dengan durasi > 40 detik CATATAN MENGENAI KEADAAN JANIN A. Denyut jantung janin Mengamati denyut jantung janin – DJJ adalah merupakan pemeriksaan klinik yang aman dan dapat dipercaya untuk mengetahui apakah janin berada dalam keadaan yang baik atau tidak. Waktu terbaik yang digunakan untuk mendengarkan DJJ adalah segera setelah puncak his. Dengarkan DJJ selama 60 detik dengan ibu dalam posisi miring. DJJ dicatat di bagian atas partogram. Dicatat setiap 30 menit dan satu kotak menggambarkan waktu selama 30 menit. Garis 120 – 160 sengaja ditebalkan dengan maksud untuk mengingatkan pada observer mengenai batas-batas normal frekuensi DJJ. clip_image030 Gambar 10 : Contoh untuk melakukan pencatatan his kedalam partogram DJJ yang abnormal adalah bila : * Frekuensi DJJ > 160 kali per menit (takikardia) dan <120> per menit (bradikardia) adalah merupakan indikasi adanya gawat janin. * Bila terdengar DJJ abnormal, dengarkan setiap 15 menit masing-masing selama 1 menit segera setelah puncak kontraksi uterus. * Bila dengan 3 kali pengamatan setiap 15 menit diatas frekuensi denyut jantung janin masih abnormal, harus dilakukan suatu tindakan. * Frekuensi DJJ ≤ 100 kali per menit menunjukkan adanya gawat janin hebat dan harus segera diambil tindakan untuk mengakhiri kehamilan. B. Selaput dan cairan ketuban Keadaan air ketuban dapat membantu dalam menentukan kondisi janin. Terdapat 4 jenis pengamatan yang harus dilakukan dan segera dicatat dalam partogram tepat dibawah catatan mengenai DJJ, yaitu : * Bila selaput ketuban masih utuh tuliskan “U” * Bila selaput ketuban sudah pecah dan keadaan air ketuban : o Jernih, maka tuliskan “J” o Diwarnai mekonium, maka tuliskan “M” o Tidak keluar lagi, maka tuliskan “K” Pengamatan selaput dan air ketuban dilakukan setiap kali melakukan vaginal toucher. Bila terdapat mekonium yang kental atau air ketuban justru tidak keluar lagi waktu selaput ketuban pecah atau dipecahkan, dengar dan amati DJJ lebih sering oleh karena hal tersebut merupakan pertanda adanya ancaman terhadap kehidupan janin dalam uterus. C. Molase kepala janin Derajat molase merupakan tanda penting adanya disproporsi kepala dan panggul. Molase hebat dengan kepala janin masih diatas PAP merupakan tanda adanya gangguan pada imbang sepalopelvik yang berat. Catatan mengenai molase dibuat tepat dibawah catatan mengenai keadaan air ketuban: 0 Tulang-tulang kepala teraba terpisah satu sama lain da sutura mudah diraba. + Tulang-tulang kepala saling menyentuh satu sama lain ++ Tulang-tulang kepala saling tumpang tindih +++ Tulang-tulang kepala saling tumpang tindih lebih hebat clip_image032 Gambar 11 : Grafik yang menyilang garis waspada dan menyilang garis tindakan Derajat molase kepala seringkali sulit ditentukan oleh adanya caput succedaneum yang besar. Bila terdapat pembentukan caput succedaneum yang besar maka harus dicurigai adanya gangguan imbang sepalo pelvik yang berat. INGAT !! 1. Dengarkan DJJ sebelum, selama dan segera setelah puncak his dan ibu dalam posisi miring. 2. Catatan mengenai DJJ harus dibuat setiap 30 menit pada persalinan kala I yang berlangsung normal 3. Nilai normal DJJ 120 – 160 kali per menit 4. Perhatikan abnormalitas pola DJJ yang menggambarkan adanya deselerasi 5. Molase hebat pada kepala janin yang masih tinggi merupakan petunjuk adanya disproporsi kepala panggul GANGGUAN KEMAJUAN PERSALINAN 1. Fase laten yang lama = prolonged latent phase Bila seorang ibu MKB pada dilatasi servik < 3 cm (fase laten) dan tetap berada dalam fase tersebut sampai 8 jam berikutnya maka kemajuan persalinan dinyatakan abnormal dan harus dirujuk ke rumah sakit untuk tindakan selanjutnya. Itu sebabnya mengapa didalam partogram dibuat garis tebal pada jam ke 8 dari fase laten. Contoh yang dapat dilihat pada gambar 12: * Ibu MKB pukul 07.00 dengan desensus 5/5 dan dilatasi servik 1 cm * Terdapat his sebanyak 2 kali dalam waktu 10 menit dengan durasi < 20 detik * 4 jam kemudian, pada pukul 11.00 terdapat kemajuan desensus menjadi 4/5dan kemajuan dilatasi servik menjadi 2 cm. Dalam 10 menit terakhir terdapat 2 his yang berlangsung dengan durasi 20 – 40 detik. * 4 jam berikutnya, pada pukul 15.00 desensus kepala tidak mengalami kemajuan masih 4/5 dan dilatasi servik juga tetap 2 cm. Terdapat 3 his dalam 10 menit yang berlangusng selama 20 – 40 detik. * Lama fase laten di kamar bersalin 8 jam 2. Pindah ke sebelah kanan garis waspada Dalam persalinan fase aktif, catatan dilatasi servik biasanya akan menetap pada garis waspada atau sedikit disebelah kiri garis waspada. Tetapi ada juga yang melewati garis waspada (disebelah kanan) yang merupakan petunjuk bahwa persalinan akan berlangsung lama. 3. Garis tindakan Garis tindakan berada 4 jam dikanan garis waspada. Bila grafik persalinan mencapai garis tindakan maka persalinan harus diakhiri di rumah sakit rujukan. clip_image034 Gambar 12 : Grafik persalinan dengan fase laten yang lama clip_image036 Gambar 13 : Grafik dilatasi servik yang menyilang garis waspada dan mencapai garis tindakan Keterangan gambar 13 : * Pada pukul 08.00, dilatasi servik menunjukkan 3 cm, jadi berarti grafik masih berada pada garis waspada, ibu bersalin masih boleh di observasi lebih lanjut di rumah bersalin atau tempat persalinan bidan. * Pada pukul 12.00, dilatasi servik 6 cm, berarti grafik kemajuan persalinan sudah menyilang garis waspada, ibu bersalin harus segera ditujuk ke rumah sakit. * Pada pukul 16.00, dilatasi servik 7 cm, berarti grafik kemajuan persalinan sudah memotong garis tindakan. Keputusan untuk mengakhiri persalinan harus segera diambil oleh rumah sakit rujukan. 1. Setiap persalinan dimana grafik dilatasi servik bergeser ke sebelah kanan garis waspada harus dirujuk dan ditangani oleh rumah sakit rujukan. Kecuali bila persalinan ternyata sudah akan segera berakhir. 2. Bila grafik dilatasi servik berada pada garis tindakan maka harus dilakukan penilaian untuk menentukan penyebab tidak majunya persalinan dan diambil keputusan sesuai dengan penyebab yang diperkirakan. CATATAN MENGENAI PENANGANAN PERSALINAN ABNORMAL Bila grafik dilatasi servik bergeser kesebelah kanan garis waspada: 1. Di Puskesmas / Rumah Bersalin/Bidan, ibu harus dirujuk ke rumah sakit rujukan kecuali bila dilatasi sudah atau hampir lengkap dan proses persalinan terkesan sudah hampir berakhir. 2. Di Rumah Sakit, dilakukan penilaian ulang secara lebih cermat dan diambil keputusan penatalaksanaan yang sesuai. Bila grafik dilatasi servik mencapai garis tindakan. Terdapat 3 pilihan : 1. Akhiri persalinan. 2. Percepat persalinan. 3. Amati keadaan ibu dan pemberian terapi pendukung. Untuk mempercepat persalinan : * Bila selaput ketuban masih utuh, lakukan amniotomi dan lanjutkan dengan pemberian oksitosin drip. * Pada primigravida dengan his yang tidak efektif: o Rehidrasi dengan Dextrose 10% o Analgesia o Infuse oksitosin o Penilaian keadaan janin dan ibu lebih sering o 6- 8 jam setelah pemberian oksitosin, persalinan harus sudah selesai * Multigravida: o Rehidrasi dan pemberian analgesik o Keputusan untuk memberikan infus oksitosin harus dipertimbangkan dengan baik (oleh dokter ahli kebidanan) Keadaan selaput ketuban Bila sudah pecah lebih dari 12 jam dan persalinan diperkirakan masih akan berlangsung > 6 jam maka harus diberikan antibiotika profilaksis. Gawat janin * Di Puskesmas: rujuk ke rumah sakit * Di Rumah Sakit: o Stop oksitosin drip (bila diberikan) o Berbaring miring kiri dan berikan oksigen masker o Periksa dalam ulang untuk mencari kemungkinan prolapsus talipusat dan amati warna air ketuban o Rehidrasi o Lakukan pemeriksaan dengan kardiotokografi Fase laten lama: o Diagnosa partus lama pada fase laten harus dilakukan secara hati-hati. o Kemungkinan pasien memang masih belum inpartu o Bila terdapat kecurigaan bahwa proses persalinan akan berkembang kearah yang membahayakan ibu dan janin lakukan rujukan (bila kejadian bukan di rumah sakit rujukan) atau tindakan seperlunya (bila di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai) PENCATATAN PADA LEMBAR BELAKANG PARTOGRAF Halaman belakang partograf merupakan bagian untuk mencatat hal-hal yang terjadi selama proses persalinan dan kelahiran, serta tindakan-tindakan yang dilakukan sejak persalinan kala I hingga kala IV (termasuk bayi baru lahir). Bagian ini disebut sebagai Catatan Persalinan. Lakukan penilaian dan catat asuhan yang diberikan selama masa nifas terutama pada kala IV untuk memungkinkan penolong persalinan mencegah terjadinya komplikasi dan membuat keputusan klinik yang sesuai. Dokumentasi ini sangat penting untuk membuat keputusan klinik, terutama pemantauan kala IV (mencegah terjadinya perdarahan pasca persalinan). Selain itu, catatan persalinan yang lengkap dapat digunakan untuk memantau sejauh mana pelaksanaan asuhan persalinan yang bersih dan aman. Catatan persalinan terdiri dari unsur-unsur berikut : 1. Data dasar 2. Kala I 3. Kala II 4. Kala III 5. Bayi baru lahir 6. Kala IV Sumber Bacaan : Sumapraja S. Partograf WHO Jakarta: Bagian Obstetri Ginekologi FKUI,1993 Departemen Kesehatan RI : “Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar Berbasis Hak Asasi Manusia dan Keadilan Gender” Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.Direktorat Bina Kesehatan Keluarga 2004 Editor : dr.Bambang Widjanarko, SpOG Email : bwrko@yahoo.co.id dodo.widjanarko@gmail.com Diposkan oleh Bambang Widjanarko di 04:32 0 komentar Link ke posting ini Label: Rujukan Persiapan Klinik Rabu, 17 Juni 2009 Pertolongan Persalinan Normal Penatalaksanaan Persalinan Normal clip_image002 Penatalaksanaan proses persalinan (kala I) dan proses kelahiran ( kala II ) yang ideal adalah 1. Peristiwa persalinan harus dipandang sebagai proses fisiologik yang normal dimana sebagian besar wanita akan mengalaminya tanpa komplikasi. 2. Komplikasi intrapartum kadang-kadang terjadi secara cepat dan tidak diharapkan sehingga diperlukan antisipasi yang memadai. Dengan demikian maka tugas para klinisi adalah secara bersama-sama membuat ibu bersalin (parturien) dan pendampingnya merasa aman dan nyaman. PROSEDUR PASIEN MASUK – “ADMISSION PROCEDURES” Memasukkan pasien ke unit persalinan secara dini adalah sikap yang harus diambil bila pada perawatan antepartum masuk kedalam kategori kehamilan resiko tinggi. Identifikasi persalinan Menentukan diagnosa inpartu terhadap pasien yang datang dengan akan melahirkan seringkali tidak mudah. Persalinan Sebenarnya - TRUE LABOR * His terjadi dengan interval teratur * Interval semakin singkat * Intensitas his semakin kuat * Rasa sakit pada punggung dan abdomen * Disertai dengan dilatasi servik * Rasa sakit tidak hilang dengan pemberian sedasi Persalinan Palsu - FALSE LABOR * His terjadi dengan interval tidak teratur * Interval his semakin lama * Intensitas his semakin lemah * Rasa sakit terutama di perut bagian bawah * Tidak disertai dengan dilatasi servik * Rasa sakit hilang dengan pemberian sedasi Didalam hal terdapat kecurigaan adanya persalinan palsu, perlu dilakukan pengamatan terhafap parturien dengan waktu yang lebih lama di unit persalinan. Identifikasi parturien: 1. Keadaan umum ibu dan anak ditentukan dengan akurat dan cepat melalui serangkaian anamnesa dan pemeriksaan fisik. 2. Keluhan yang berkaitan dengan selaput ketuban, perdarahan pervaginam dan gangguan keadaan umum ibu lain adalah data yang penting diketahui. 3. Pemeriksaan fisik meliputi : 1. Keadaan umum pasien : kesan umum, kesadaran, ikterus, komunikasi interpersonal. 2. Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu tubuh. 4. Pemeriksaan obstetri : 1. Palpasi abdomen (palpasi Leopold) 2. Frekuensi-durasi dan intensitas his 3. Denyut jantung janin 4. Vaginal toucher : ( bila tak ada kontraindikasi ) 1. Servik: posisi (kedepan, tengah, posterior), konsistensi, pendataran dan pembukaan (cm) 2. Keadaan selaput ketuban (keadaan cairan amnnion bila selaput ketuban sudah pecah). 3. Bagian terendah janin (“presenting part”): 1. Kepala/bokong/bahu 2. Penurunan (“station”), gambar 6.1 3. Posisi janin berdasarkan posisi denominator 4. Arsitektur panggul dan keadaan jalan lahir 5. Keadaan vagina dan perineum 5. 5. Kardiotokografi : “fetal admission test” untuk memantau keadaan janin dan memperkirakan keadaan janin . image Gambar : Derajat desensus bagian terendah janin. * Spina ischiadica = level 0 * Diatas spina ischiadica = tanda - * Dibawah spina ischiadica= tanda + Pemeriksaan laboratorium : 1. Haemoglobin dan hematokrit. 2. Urinalisis ( glukosa dan protein ). 3. Untuk pasien yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal harus dilakukan pemeriksaan: * Syphilis ( VDRL/RPR ) * Hepatitis B * HIV (atas persetujuan parturien ) PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA I 1. Berikan dukungan dan suasana yang menyenangkan bagi parturien 2. Berikan informasi mengenai jalannya proses persalinan kepada parturien dan pendampingnya. 3. Pengamatan kesehatan janin selama persalinan * Pada kasus persalinan resiko rendah, pada kala I DJJ diperiksa setiap 30 menit dan pada kala II setiap 15 menit setelah berakhirnya kontraksi uterus ( his ). * Pada kasus persalinan resiko tinggi, pada kala I DJJ diperiksa dengan frekuensi yang lbih sering (setiap 15 menit ) dan pada kala II setiap 5 menit. 4. Pengamatan kontraksi uterus * Meskipun dapat ditentukan dengan menggunakan kardiotokografi, namun penilaian kualitas his dapat pula dilakukan secara manual dengan telapak tangan penolong persalinan yang diletakkan diatas abdomen (uterus) parturien. 5. Tanda vital ibu * Suhu tubuh, nadi dan tekanan darah dinilai setiap 4 jam. * Bila selaput ketuban sudah pecah dan suhu tubuh sekitar 37.50 C (“borderline”) maka pemeriksaan suhu tubuh dilakukan setiap jam. * Bila ketuban pecah lebih dari 18 jam, berikan antibiotika profilaksis. 6. Pemeriksaan VT berikut 1. Pada kala I keperluan dalam menilai status servik, stasion dan posisi bagian terendah janin sangat bervariasi. 2. Umumnya pemeriksaan dalam (VT) untuk menilai kemajuan persalinan dilakukan tiap 4 jam. 3. Indikasi pemeriksaan dalam diluar waktu yang rutin diatas adalah: * Menentukan fase persalinan. * Saat ketuban pecah dengan bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul. * Ibu merasa ingin meneran. * Detik jantung janin mendadak menjadi buruk (< 120 atau > 160 dpm). 7. Makanan oral 1. Sebaiknya pasien tidak mengkonsumsi makanan padat selama persalinan fase aktif dan kala II. Pengosongan lambung saat persalinan aktif berlangsung sangat lambat. 2. Penyerapan obat peroral berlangsung lambat sehingga terdapat bahaya aspirasi saat parturien muntah. 3. Pada saat persalinan aktif, pasien masih diperkenankan untuk mengkonsumsi makanan cair. 8. Cairan intravena * Keuntungan pemberian cairan intravena selama inpartu: o Bilamana pada kala III dibutuhkan pemberian oksitosin profilaksis pada kasus atonia uteri. o Pemberian cairan glukosa, natrium dan air dengan jumlah 60–120 ml per jam dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan asidosis pada ibu. 9. Posisi ibu selama persalinan * Pasien diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih posisi yang paling nyaman bagi dirinya. * Berjalan pada saat inpartu tidak selalu merupakan kontraindikasi. 10. Analgesia * Kebutuhan analgesia selama persalinan tergantung atas permintaan pasien. 11. Lengkapi partogram * Keadaan umum parturien ( tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ). * Pengamatan frekuensi – durasi – intensitas his. * Pemberian cairan intravena. * Pemberian obat-obatan. 12. Amniotomi * Bila selaput ketuban masih utuh, meskipun pada persalinan yang diperkirakan normal terdapat kecenderungan kuat pada diri dokter yang bekerja di beberapa pusat kesehatan untuk melakukan amniotomi dengan alasan: o Persalinan akan berlangsung lebih cepat. o Deteksi dini keadaan air ketuban yang bercampur mekonium ( yang merupakan indikasi adanya gawat janin ) berlangsung lebih cepat. o Kesempatan untuk melakukan pemasangan elektrode pada kulit kepala janin dan prosedur pengukuran tekanan intrauterin. * Namun harus dingat bahwa tindakan amniotomi dini memerlukan observasi yang teramat ketat sehingga tidak layak dilakukan sebagai tindakan rutin. 13. Fungsi kandung kemih * Distensi kandung kemih selama persalinan harus dihindari oleh karena dapat: o Menghambat penurunan kepala janin o Menyebabkan hipotonia dan infeksi kandung kemih o Carley dkk (2002) menemukan bahwa 51 dari 11.322 persalinan pervaginam mengalami komplikasi retensio urinae ( 1 : 200 persalinan ). o Faktor resiko terjadinya retensio urinae pasca persalinan: + Persalinan pervaginam operatif + Pemberian analgesia regional PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA II Tujuan penatalaksanaan persalinan kala II : 1. Mencegah infeksi traktus genitalis melalui tindakan asepsis dan antisepsis. 2. Melahirkan “well born baby”. 3. Mencegah agar tidak terjadi kerusakan otot dasar panggul secara berlebihan. Penentuan kala II : Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan vaginal toucher yang acapkali dilakukan atas indikasi : 1. Kontraksi uterus sangat kuat dan disertai ibu yang merasa sangat ingin meneran. 2. Pecahnya ketuban secara tiba-tiba. Pada kala II sangat diperlukan kerjasama yang baik antara parturien dengan penolong persalinan. 1. Persiapan : 1. Persiapan set “pertolongan persalinan” lengkap. 2. Meminta pasien untuk mengosongkan kandung kemih bila teraba kandung kemih diatas simfisis pubis. 3. Membersihkan perineum, rambut pubis dan paha dengan larutan disinfektan. 4. Meletakkan kain bersih dibagian bawah bokong parturien. 5. Penolong persalinan mengenakan peralatan untuk pengamanan diri ( sepatu boot, apron, kacamata pelindung dan penutup hidung & mulut). 2. Pertolongan persalinan : 1. Posisi pasien sebaiknya dalam keadaan datar diatas tempat tidur persalinan. 2. Untuk pemaparan yang baik, digunakan penahan regio poplitea yang tidak terlampau renggang dengan kedudukan yang sama tinggi. 3. Persalinan kepala: 1. Setelah dilatasi servik lengkap, pada setiap his vulva semakin terbuka akibat dorongan kepala dan terjadi “crowning”. 2. Anus menjadi teregang dan menonjol. Dinding anterior rektum biasanya menjadi lebih mudah dilihat. 3. Bila tidak dilakukan episiotomi, terutama pada nulipara akan terjadi penipisan perineum dan selanjutnya terjadi laserasi perineum secara spontan. 4. Episotomi tidak perlu dilakukan secara rutin dan hendaknya dilakukan secara individual atas sepengetahuan dan seijin parturien. image Gambar 6 – 2 : Rangkaian persalinan kepala 1. Kepala membuka pintu (crowning) 2. Perineum semakin teregang dan semakin tipis 3. Kepala anak lahir dengan gerakan ekstensi 4. Kepala anak jatuh didepan anus 5. Putaran restitusi 6. Putar paksi luar Episiotomi terutama dari jenis episiotomi mediana mudah menyebabkan terjadinya ruptura perinei totalis (mengenai rektum) ; sebaliknya bila tidak dilakukan episiotomi dapat menyebabkan robekan didaerah depan yang mengenai urethrae. Manuver Ritgen : image Gambar 3 Maneuver RITGEN Tujuan maneuver Ritgen : 1. Membantu pengendalian persalinan kepala janin 2. Membantu defleksi (ekstensi) kepala 3. Diameter kepala janin yang melewati perineum adalah diameter yang paling kecil sehingga dapat 4. Mencegah terjadinya cedera perineum yang Saat kepala janin meregang vulva dan perineum (“crowning”) dengan diameter 5 cm, dengan dialasi oleh kain basah tangan kanan penolong melakukan dorongan pada perineum dekat dengan dagu janin kearah depan atas. Tangan kiri melakukan tekanan ringan pada daerah oksiput. Maneuver ini dilakukan untuk mengatur defleksi kepala agar tidak terjadi cedera berlebihan pada perineum. image Gambar 4 Persalinan kepala, mulut terlihat didepan perineum Persalinan bahu: Setelah lahir, kepala janin terkulai keposterior sehingga muka janin mendekat pada anus ibu. Selanjutnya oksiput berputar (putaran restitusi) yang menunjukkan bahwa diameter bis-acromial (diameter tranversal thorax) berada pada posisi anteroposterior Pintu Atas Panggul (gambar 2d) dan pada saat itu muka dan hidung anak hendaknya dibersihkan (gambar 5) image Gambar 5 Segera setelah dilahirkan, mulut dan hidung anak dibersihkan Seringkali, sesaat setelah putar paksi luar, bahu terlihat di vulva dan lahir secara spontan. Bila tidak, perlu dlakukan ekstraksi dengan jalan melakukan cekapan pada kepala anak dan dilakukan traksi curam kebawah untuk melahirkan bahu depan dibawah arcus pubis. (gambar 6) image Gambar 6 Persalinan bahu depan image Gambar 7 Persalinan bahu belakang Untuk mencegah terjadinya distosia bahu, sejumlah ahli obstetri menyarankan agar terlebih dulu melahirkan bahu depan sebelum melakukan pembersihan hidung dan mulut janin atau memeriksa adanya lilitan talipusat ( gambar 8) image Gambar 8 Memeriksa adanya lilitan talipusat Persalinan sisa tubuh janin biasanya akan mengikuti persalinan bahu tanpa kesulitan, bila agak sedikit lama maka persalinan sisa tubuh janin tersebut dapat dilakukan dengan traksi kepala sesuai dengan aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus uteri. Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf ekstrimitas atas 5. Membersihkan nasopharynx: Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan anak mulai mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil kemungkinan terjadinya aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta darah. 6. Lilitan talipusat Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak dengan menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8 Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang berbahaya. Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas kepala dan bila lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan talipusat terlebih dulu setelah dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat. 7. Menjepit talipusat: Klem penjepit talipusat dipasang 4–5 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat (plastik) dipasang dengan jarak 2–3 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara klem dan penjepit talipusat. Saat pemasangan penjepit talipusat: Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae selama 3 menit dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang penjepit talipusat, maka akan terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke tubuh neonatus dan hal tersebut dapat mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus. Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan nafas yang biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak ditempatkan lebih tinggi dari introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar ) PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA III Persalinan Kala III adalah periode setelah lahirnya anak sampai plasenta lahir. Segera setelah anak lahir dilakukan penilaian atas ukuran besar dan konsistensi uterus dan ditentukan apakah ini aalah persalinan pada kehamilan tunggal atau kembar. Bila kontraksi uterus berlangsung dengan baik dan tidak terdapat perdarahan maka dapat dilakukan pengamatan atas lancarnya proses persalinan kala III. Penatalaksanaan kala III FISIOLOGIK : Tanda-tanda lepasnya plasenta: 1. Uterus menjadi semakin bundar dan menjadi keras. 2. Pengeluaran darah secara mendadak. 3. Fundus uteri naik oleh karena plasenta yang lepas berjalan kebawah kedalam segmen bawah uterus. 4. Talipusat di depan menjadi semakin panjang yang menunjukkan bahwa plasenta sudah turun. Tanda-tanda diatas kadang-kadang dapat terjadi dalam waktu sekitar 1 menit setelah anak lahir dan umumnya berlangsung dalam waktu 5 menit. Bila plasenta sudah lepas, harus ditentukan apakah terdapat kontraksi uterus yang baik. Parturien diminta untuk meneran dan kekuatan tekanan intrabdominal tersebut biasanya sudah cukup untuk melahirkan plasenta. Bila dengan cara diatas plasenta belum dapat dilahirkan, maka pada saat terdapat kontraksi uterus dilakukan tekanan ringan pada fundus uteri dan talipusat sedikit ditarik keluar untuk mengeluarkan plasenta (gambar 9) image Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada fundus uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi tangan ) Tehnik melahirkan plasenta : 1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi talipusat. 2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran. 3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik talipusat keatas. 4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan “memelintir” plasenta sampai selaput ketuban agar selaput ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput ketuban dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. clip_image030clip_image032 Gambar 10 Melahirkan plasenta Kiri: Plasenta dilahirkan dengan mengkat talipusat Kanan : selaput ketuban jangan sampai tersisa dengan menarik selaput ketuban menggunakan cunam Penatalaksanaan kala III AKTIF : Penatalaksanaan aktif kala III ( pengeluaran plasenta secara aktif ) dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif kala III terdiri dari : 1. Pemberian oksitosin segera setelah anak lahir 2. Tarikan pada talipusat secara terkendali Masase uterus segera setelah plasenta lahir Tehnik : 1. Setelah anak lahir, ditentukan apakah tidak terdapat kemungkinan adanya janin kembar. 2. Bila ini adalah persalinan janin tunggal, segera berikan oksitosin 10 U i.m (atau methergin 0.2 mg i.m bila tidak ada kontra indikasi) 3. Regangkan talipusat secara terkendali (“controlled cord traction”): o Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat kontraksi, lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah dorsokranial (gambar 11 ) clip_image036 Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi talipusat terkendali o Tangan kiri memegang klem talipusat , 5–6 cm didepan vulva. o Pertahankan traksi ringan pada talipusat dan tunggu adanya kontraksi uterus yang kuat. o Setelah kontraksi uterus terjadi, lakukan tarikan terkendali pada talipusat sambil melakukan gerakan mendorong bagian bawah uterus kearah dorsokranial. 1. Penarikan talipusat hanya boleh dilakukan saat uterus kontraksi. 2. Ulangi gerakan-gerakan diatas sampai plasenta terlepas. 3. Setelah merasa bahwa plasenta sudah lepas, keluarkan plasenta dengan kedua tangan dan lahirkan dengan gerak memelintir. 4. Setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri agar terjadi kontraksi dan sisa darah dalam rongga uterus dapat dikeluarkan. 5. Jika tidak terjadi kontraksi uterus yang kuat (atonia uteri) dan atau terjadi perdarahan hebat segera setelah plasenta lahir, lakukan kompresi bimanual. 6. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1 – 2 menit, ikuti protokol penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan. 7. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan injeksi oksitosin kedua dan ulangi gerakan-gerakan diatas. 8. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit: o Periksa kandung kemih, bila penuh lakukan kateterisasi. o Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta. o Berikan injeksi oksitosin ketiga. PERHATIAN : Jika uterus bergerak kebawah waktu saudara menarik talipusat, HENTIKAN !! Plasenta mungkin belum lepas dari insersinya dan kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya inversio uteri. Jika ibu merasa nyeri atau jika uterus tidak mengalami kontraksi (lembek) , HENTIKAN USAHA MENARIK TALIPUSAT Siapkan rujukan bila tidak ada tanda-tanda lepasnya plasenta. PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA IV 2 jam pertama pasca persalinan merupakan waktu kritis bagi ibu dan neonatus. Keduanya baru saja mengalami perubahan fisik luar biasa dimana ibu baru melahirkan bayi dari dalam perutnya dan neonatus sedang menyesuaikan kehidupan dirinya dengan dunia luar. Petugas medis harus tinggal bersama ibu dan neonatus untuk memastikan bahwa keduanya berada dalam kondisi stabil dan dapat mengambil tindakan yang tepat dan cepat untuk mengadakan stabilisasi. Langkah-langkah penatalaksanaan persalinan kala IV: 1. Periksa fundus uteri tiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit pada jam kedua. 2. Periksa tekanan darah – nadi – kandung kemih dan perdarahan setiap 15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua. 3. Anjurkan ibu untuk minum dan tawarkan makanan yang dia inginkan. 4. Bersihkan perineum dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering. 5. Biarkan ibu beristirahat. 6. Biarkan ibu berada didekat neonatus. 7. Berikan kesempatan agar ibu mulai memberikan ASI, hal ini juga dapat membantu kontraksi uterus . 8. Bila ingin, ibu diperkenankan untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Pastikan bahwa ibu sudah dapat buang air kecil dalam waktu 3 jam pasca persalinan. 9. Berikan petunjuk kepada ibu atau anggauta keluarga mengenai: o Cara mengamati kontraksi uterus. o Tanda-tanda bahaya bagi ibu dan neonatus. Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum dipindahkan ke ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa: 1. Keadaan umum ibu baik. 2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan. 3. Cedera perineum sudah diperbaiki. 4. Pasien tidak mengeluh nyeri. 5. Kandung kemih kosong. Rujukan : 1. Saifuddin AB (ed): Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 2002 2. American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists : Guideline for Perinatal Care, 5th ed Washington,DC AAP and ACOG, 2002 3. Carley ME et al : Factors that associated with clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 187:430, 2002 4. Cunningham FG (editorial) : Normal Labor and Delivery in “William Obstetrics” 22nd ed p 409- 441, Mc GrawHill Companies 2005 5. Eason E et al : Preventing perineal trauma during childbirth. A Systematic Review. Obstet Gynecol 95,464, 2000 6. Jackson KW et al: A randomized controlled trial comparing oxytocin administration before and after placental delivery in the prevention of postpartum haemorrhage. Am J Obstet Gynecol 185:873, 2001 7. Jones DL : Course and Management of Childbirth in Fundamentals of Obstetric & Gynaecology 7th ed Mosby, London1997.

1 komentar:

  1. How to get titanium white octane
    › tt-t-t-t › tt-t-t-t-t In titanium pots and pans order to maximize your profits titanium jewelry for piercings with babyliss pro titanium straightener Titanium White Octane, you first need to visit this site. titanium drill bits Titanium White. Your first step is to enter the website to find titanium nitride coating service near me the

    BalasHapus